Festival Budaya Kampung Lebak 2025, Sebuah Pelajaran tentang Harmoni

Festival Budaya Kampung Lebak 2025

Ada satu momen di Festival Budaya Kampung Lebak 2025 yang benar-benar membuat saya berhenti sejenak, menarik napas, dan berpikir, “Ini dia, inilah makna keberagaman yang sesungguhnya.”  


Bayangkan saja di Festival Budaya Kampung Lebak 2025 tersebut: di satu sudut, barongsai melompat lincah dengan suara tambur yang menghentak. Sementara tak jauh dari situ, lantunan marawis berdentum lembut, menyatu tanpa ada yang saling mendominasi. Di sisi lain, anak-anak tertawa riang bermain kaulinan barudak—permainan tradisional Sunda yang mungkin sudah jarang terlihat di zaman serba digital ini.  


Hari itu, Minggu 2 Februari 2025, saya ingat berdiri di tengah keramaian, mata saya berpindah-pindah antara para pedagang di bazar murah yang penuh warna dan grup angklung Silih Asih dari Gereja Santo Yohanes yang tampil penuh semangat. Saat itu saya sadar, seni dan budaya memang punya kekuatan untuk memecah sekat-sekat yang sering kali kita ciptakan sendiri.  


Bukan cuma soal hiburan. Festival ini terasa seperti pelajaran hidup yang dikemas dalam balutan atraksi budaya. Kita sering terjebak dalam perbedaan, seolah itu adalah jurang yang sulit dijembatani. Padahal, lihat saja Kampung Kerukunan di Ciamis ini—masjid, gereja, dan kelenteng berdiri berdampingan, bukan saling mengabaikan, tapi saling melengkapi.  


Saya teringat ucapan Kabid Kebudayaan Disbudpora Ciamis, Muharram Ajajuli, yang sederhana tapi menancap dalam, “Perbedaan bukan alasan untuk berpecah, justru peluang untuk saling mengenal dan menghargai.” Dan jujur saja, saya yang mendengarnya langsung merasa tertampar dengan lembut.


Baca Juga: Perayaan Imlek 2576 di Ciamis, Harapan Baru dalam Keberkahan dan Harmoni


Festival Budaya Kampung Lebak 2025 dan Geliat Ekonomi Rakyat


Di tengah hiruk-pikuk Festival Budaya Kampung Lebak 2025, saya berbincang dengan seorang pedagang kecil di bazar. Dia bercerita bagaimana festival ini bukan hanya soal merayakan budaya, tapi juga memberi mereka peluang ekonomi yang nyata. 


“Biasanya jualan sepi, tapi kalau ada festival begini, alhamdulillah banyak yang beli,” katanya sambil tersenyum. 


Saya ikut tersenyum, tapi dalam hati merasa hangat. Ternyata dampaknya bukan hanya soal tontonan, tapi juga perut yang kenyang dan dompet yang terisi.  


Oh, dan satu hal lagi yang membuat saya kagum—kolaborasi antara Sakola Motekar dan grup angklung Gereja Santo Yohanes. Rasanya seperti melihat dua dunia yang berbeda tapi bisa berdialog lewat nada dan ritme yang harmonis. Ini bukan sekadar kolaborasi musik, tapi simbol bahwa kita bisa "berbeda tapi satu irama."  


Saat Festival Budaya Kampung Lebak 2025 berakhir, saya berjalan pulang dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Mungkin ini yang disebut aftertaste dari sebuah pengalaman bermakna. Festival Budaya Kampung Lebak 2025 bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah pengingat bahwa di tengah dunia yang sering ribut soal perbedaan, kita punya contoh nyata bahwa harmoni itu mungkin—dan indah.  


Kalau kamu belum pernah datang ke Festival Budaya Kampung Lebak di tahun 2025 ini, serius deh, tandai kalendermu untuk tahun depan. Bukan hanya untuk menikmati pertunjukannya, tapi untuk merasakan sendiri bagaimana keberagaman bisa menjadi jembatan, bukan tembok. Karena pada akhirnya, kita semua cuma manusia yang ingin hidup damai, bukan?

LihatTutupKomentar