Ciamis, infociamis.online – Deretan sekolah swasta di Kabupaten Ciamis kini menghadapi kenyataan pahit: krisis siswa baru. Fakta ini bukan semata akibat persaingan antar sekolah, melainkan akibat adanya kebijakan baru dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) dalam sistem SPMB 2025.
Kebijakan PAPS tersebut memungkinkan sekolah negeri menampung hingga 50 siswa per rombongan belajar (rombel), naik drastis dari kuota sebelumnya yang hanya 36 siswa per kelas. Tujuannya memang mulia: menjangkau anak-anak dari keluarga tidak mampu agar tetap bisa mengakses pendidikan menengah. Namun, di sisi lain, dampak pahit bagi sekolah swasta di Ciamis justru menjadi terpinggirkan.
Sekolah Swasta Ciamis Krisis Siswa, Bahkan Ada yang Tak Mendapat Pendaftar
Hingga pertengahan Juli 2025, sejumlah SMK swasta di Ciamis melaporkan keterisian siswa baru kurang dari 30 persen dari kapasitas ideal. Beberapa sekolah bahkan tidak mendapatkan pendaftar sama sekali.
“Kami sangat terdampak. Ada tiga SMK swasta yang nihil pendaftar. Ini imbas dari kebijakan PAPS yang hanya menyasar sekolah negeri,” ungkap Dodi Suhendi, Wakil Ketua Forum Kepala SMK Swasta (FKKS) Ciamis, Rabu (16/7/2025).
Dodi menambahkan, ketimpangan ini menunjukkan ketidakadilan sistem pendidikan, di mana sekolah swasta seolah tak lagi diberi ruang tumbuh.
Siswa Beralih ke Sekolah Negeri, Sekolah Swasta Kehilangan Harapan
Fenomena menarik kembali pendaftaran dari sekolah swasta ke sekolah negeri juga menjadi sorotan. Abdul Fatah, Ketua SPMB di SMA Plus Informatika Ciamis, menyebut bahwa dari lima calon siswa yang mendaftar di tahap pertama, semuanya memilih mundur dan pindah ke sekolah negeri pada tahap kedua.
“Kami sudah menyampaikan keberatan ini ke KCD Wilayah XIII, tetapi belum ada solusi konkret. Situasi ini sangat memukul sekolah swasta,” ujar Abdul.
Kini, sekolahnya hanya menerima 90 siswa baru, padahal kapasitas ideal bisa mencapai dua kali lipat. Beberapa kelas pun harus tetap kosong karena minimnya pendaftar.
Ancaman Serius Bagi Guru dan Keberlangsungan Pendidikan Swasta
Tak hanya berdampak pada siswa, krisis ini juga mengancam jam mengajar guru-guru bersertifikasi. Jika rombel menyusut, otomatis jam pelajaran berkurang, yang bisa berdampak langsung pada kesejahteraan guru dan keberlanjutan operasional sekolah.
Ironisnya, banyak sekolah swasta yang justru memiliki program unggulan seperti keterampilan komputer, desain grafis, pemrograman, dan bahasa asing. Namun karena keterbatasan kuota dan biaya, siswa cenderung memilih sekolah negeri yang gratis.
Kebijakan yang Kontraproduktif?
PAPS, yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, adalah langkah afirmatif yang bertujuan menekan angka putus sekolah di wilayah tertinggal. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini dinilai belum berpihak pada prinsip keadilan pendidikan.
FKKS Jawa Barat bahkan melayangkan gugatan ke PTUN dan melaporkannya ke Ombudsman RI sebagai bentuk protes atas diskriminasi kebijakan.
“Negara seharusnya hadir untuk semua, termasuk sekolah swasta. Jangan hanya memprioritaskan sekolah negeri,” tegas Dodi.
Baca Juga: PIK-R SMAN 1 Baregbeg Persembahkan Juara Nasional Bagi Ciamis, Cek Bagaimana Kisahnya!
Solusi Masih Dicari, Ancaman Tetap Mengintai
Meskipun Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengklaim kebijakan ini adalah bentuk tanggung jawab sosial negara dan membuka ruang diskusi, namun belum ada langkah konkret yang mampu menyelamatkan sekolah swasta dari kondisi krisis.
Hingga saat ini, pendaftaran siswa baru masih dibuka hingga 31 Agustus 2025, bertepatan dengan cut-off Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sekolah swasta berharap ada evaluasi ulang agar akses pendidikan yang adil dan berkelanjutan dapat terwujud, tanpa harus mengorbankan lembaga pendidikan non-negeri.

