Taman Raflesia dan Kontroversi Identitas Alun-alun Ciamis

Taman Raflesia dan Kontroversi Identitas Alun-alun Ciamis

Alun-alun Ciamis terus mengalami transformasi visual maupun makna sejak masa kolonial hingga era modern. Namun, keberadaan Taman Raflesia justru memunculkan perdebatan tentang identitas kultural dan simbolik Ciamis.


Dari Pasar Rakyat ke Taman Raflesia yang Ikonik

Alun-alun Ciamis bukan sekadar ruang publik; ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah Kabupaten Ciamis. Pada era 1980-an, kawasan ini masih berfungsi sebagai pasar tradisional yang menjadi pusat aktivitas ekonomi warga. Suasana ramai, tawa anak-anak, dan aroma jajanan khas Jawa Barat masih lekat dalam ingatan warga yang tumbuh besar di masa itu.


Namun, perubahan besar dimulai ketika pemerintahan Bupati Taufik Hidayat memindahkan pasar ke dekat Terminal Ciamis. Langkah ini menjadi bagian dari rencana penataan kota yang lebih luas, termasuk pembangunan Stadion Galuh dan jalur Lingkar Selatan. Sebagai pengganti ruang komersial lama, pemerintah membangun taman yang diberi nama Taman Raflesia—sebuah upaya estetika sekaligus simbolik.


Kontroversi Nama dan Filosofi Taman Raflesia

Taman Raflesia, meskipun cantik secara visual, justru memantik perdebatan identitas di kalangan budayawan lokal. Nama “Raflesia” sendiri dipilih untuk menghormati bunga langka Rafflesia arnoldii yang pernah ditemukan di Pangandaran, kawasan yang saat itu masih termasuk wilayah Ciamis. Sayangnya, penamaan taman tersebut menggunakan satu huruf “f”, yang berbeda dari ejaan ilmiah “Rafflesia”, memicu kritik dari sejumlah pihak.


Lebih jauh, sebagian masyarakat mempertanyakan apakah bunga bangkai yang identik dengan aroma busuk pantas dijadikan ikon daerah. Seniman dan budayawan Ciamis seperti Godi Suwarna menyampaikan kegelisahan kolektif ini. Menurutnya, Taman Raflesia tidak merepresentasikan jiwa Galuh yang agung, yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal. Ia bahkan mengusulkan agar nama taman diganti menjadi “Maya Datar” atau menggunakan ikon Kujang dan Prasasti Astana Gede yang lebih merefleksikan sejarah Kerajaan Galuh.


Usulan Pergantian Simbol: Antara Ideal dan Realita

Walau kritik mengemuka sejak lama, pergantian nama Taman Raflesia belum juga terwujud. Pada revitalisasi tahun 2018, sejumlah tokoh budaya sudah menyuarakan aspirasi tersebut kepada pemerintah daerah. Sayangnya, belum ada anggaran yang dialokasikan untuk mengganti tugu atau papan nama yang sudah berdiri.


Alhasil, Taman Raflesia tetap berdiri di tengah Alun-alun Ciamis, meskipun statusnya kini seakan menjadi simbol transisi identitas. Pemerintah tampaknya bersikap hati-hati dalam menanggapi desakan perubahan tersebut, karena di satu sisi mereka harus mempertimbangkan anggaran, sementara di sisi lain aspirasi masyarakat terus bergulir.


Sejarah Kelam yang Jarang Diungkap

Di balik wajah taman yang indah, Alun-alun Ciamis menyimpan sejarah kelam yang jarang terdengar. Pada 12 November 1926, lokasi ini menjadi titik penting pemberontakan yang dirancang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan kolonial dan Bupati R.A.A. Sastrawinata. Meski rencana kudeta gagal, aksi tersebut meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah lokal.


Sebagai konsekuensinya, tiga tokoh PKI—Egom, Dirdja, dan Hassan Bakri—dihukum gantung di alun-alun ini pada 1927. Eksekusi itu dilakukan secara terbuka sebagai pesan keras kepada rakyat agar tidak menentang pemerintah kolonial. Hingga kini, tidak banyak penanda atau monumen yang mengingatkan generasi muda akan peristiwa tragis tersebut.


Revitalisasi Alun-alun Ciamis di Era Modern

Setelah puluhan tahun tanpa pembaruan signifikan, Alun-alun Ciamis mengalami revitalisasi besar-besaran pada tahun 2023. Pemerintah daerah mengucurkan dana sebesar Rp11,59 miliar untuk mengubah kawasan ini menjadi ruang publik modern seluas 25.398 meter persegi—salah satu yang terbesar di Jawa Barat.


Kini, masyarakat dapat menikmati fasilitas yang lebih lengkap, mulai dari taman bermain anak, food court, trotoar ramah disabilitas, hingga area refleksi yang nyaman. Ruang ini pun tak hanya menjadi tempat bersantai, tetapi juga ruang interaksi sosial lintas generasi. 


Refleksi Masa Depan Alun-alun Ciamis

Meski telah berubah rupa, Alun-alun Ciamis masih menghadapi pertanyaan besar tentang identitas yang ingin diwakilinya. Taman Raflesia mungkin sudah menjadi bagian dari lanskap kota, namun simbol itu belum sepenuhnya diterima secara filosofis. Banyak warga berharap agar ke depan ikon taman ini mencerminkan sejarah dan karakter Galuh yang lebih otentik.


Untuk itu, generasi muda perlu mengambil peran dalam merefleksikan ulang makna ruang publik di tengah pusaran perubahan zaman. Dengan semangat partisipatif, mereka bisa menghidupkan kembali nilai-nilai sejarah dan budaya Ciamis melalui cara-cara baru—entah lewat seni, teknologi, atau kebijakan publik yang lebih inklusif. Pada akhirnya, Alun-alun Ciamis akan terus menjadi panggung tempat identitas masyarakatnya diuji, dibentuk, dan diwariskan.

LihatTutupKomentar